Melemahnya Rupiah Imbas Fluktuasi Perekonomian Global

Nilai tukar mata uang atau kurs adalah komponen penting dalam perdagangan internasional, investasi, dan kebijakan moneter suatu negara. Perubahan nilai tersebut dapat menjadi cerminan ekonomi suatu negara serta respons terhadap dinamika pasar internasional. Pelemahan nilai tukar tentu menjadi suatu tantangan bagi perekonomian. Kondisi tersebut terjadi pada rupiah beberapa waktu lalu.
Berdasarkan data dari Bloomberg Terminal, nilai tukar rupiah menembus harga Rp16.450 per United States Dollar (USD) pada Jumat, 21 Juni 2024. Kurs ini menunjukkan depresiasi yang hampir mencapai 10 persen dibandingkan dengan periode tahun lalu ketika nilai rupiah masih setara Rp14.952 per USD. Nilai rupiah kini hampir menyamai kurs pada krisis moneter 1998 dan pandemi Covid-19 di angka Rp16.650 serta Rp16.610 per USD.
Penyebab utama melemahnya nilai rupiah adalah penahanan suku bunga acuan oleh bank sentral Amerika Serikat, The Federal Reserve (The Fed). Mereka kembali menetapkan keputusan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,25-5,50% pada 12 Juni 2024. Penahanan tersebut adalah upaya untuk mengurangi laju inflasi yang belum mencapai target. Dengan mempertahankan suku bunga acuan di level tertentu, nilai USD akan menguat dibandingkan mata uang lainnya.
Konflik di Timur Tengah antara Iran dan Israel turut menjadi alasan lain bagi The Fed untuk tetap menahan suku bunga acuan. Eskalasi terbaru memberikan ancaman kenaikan harga minyak dunia karena terganggunya jalur distribusi. Skenario ini ikut andil dalam tingginya inflasi di AS sebagai imbas dari kenaikan harga pokok produksi.
Penurunan nilai rupiah juga merupakan akibat dari komposisi impor Indonesia yang dianggap rentan terhadap fluktuasi harga global. Dikutip dari laman RRI.co.id, Ekonom Asmiati Malik menyampaikan bahwa Indonesia masih mengimpor banyak komoditas penting seperti bahan baku, barang modal dan konsumsi. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan realisasi impor bulan Mei merupakan yang tertinggi tahun ini di angka 19.399,8 miliar USD
Alasan lain dari pelemahan ini adalah intervensi Bank Indonesia yang tidak mampu menahan tingginya pergerakan nilai USD. Bank Indonesia memang sempat berhasil mengintervensi stabilitas rupiah pada 14 Juni 2024. Intervensi ini menguatkan rupiah ke Rp16.365 dari nilai sebelumnya yakni Rp16.415. Namun, nilai tersebut kembali naik ke Rp16.430 pada 20 Juni 2024.
Beralaskan kajian Kementerian Keuangan, dampak yang terasa dari pelemahan rupiah adalah meningkatnya biaya pembayaran utang luar negeri. Perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki utang dalam USD harus mengeluarkan lebih banyak rupiah untuk membayar kembali pokok dan bunga pinjaman. Di samping itu, beban subsidi energi juga akan bertambah bersamaan dengan mengurangnya ruang fiskal pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Kenaikan harga barang-barang pokok juga akan terjadi. Akibatnya, kondisi perekonomian nasional menjadi tidak kondusif. Hal ini diungkapkan Shinta W. Kamdani sebagai Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia dalam laman Bisnis.com. Ia menambahkan bahwa industri padat karya akan menemui kendala karena banyak bahan baku penolong mereka yang masih diimpor menggunakan USD. Pada akhirnya, peningkatan biaya produksi ini akan berujung pada menurunnya daya beli masyarakat.
Oleh: Muhammad Azka H.
Editor: Wulan Farinatur R.
Ilustrasi: Ananda Dyanto Z.W.