Konflik Agraria: Bukti Kegagalan Pemerintah Jalankan Amanat Undang-Undang

Konflik agraria di Indonesia terus meningkat jumlahnya selama tiga tahun terakhir. Masyarakat, korporasi, hingga pemerintah seringkali terlibat pertentangan akibat saling klaim atas tanah dan sumber daya di wilayah tertentu. Hal ini seolah menjadi harga yang harus dibayar atas suatu pembangunan. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat ada 2.951 konflik agraria selama masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Konflik agraria yang masih sering terjadi menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal dalam menjalankan amanat Undang-Undang Dasar (UUD). Negara dipercaya untuk mengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalamnya untuk kemakmuran masyarakat. Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok Agraria Pasal 2 menjelaskan wewenang negara dalam mengatur peruntukan, penggunaan, persediaan hingga pemeliharaan sumber daya alam yang harus berorientasi pada rakyat.
Salah satu bukti kegagalan pemerintah dalam mengelola perselisihan agraria adalah konflik pakel. Konflik ini melibatkan para petani yang menentang korporasi perkebunan cengkih PT Bumi Sari di Desa Pakel, Banyuwangi, Jawa Timur. Bermula sejak tahun 1980-an ketika PT Bumi Sari mengeklaim tanah di Desa Pakel sebagai bagian dari konsesinya. Padahal, warga telah mengantongi izin pembukaan lahan sejak zaman Kolonial Belanda yang tertuang dalam Akta 1929. Hingga saat ini, perseteruan dan saling klaim antara masyarakat dengan korporasi di Pakel masih berlangsung.
Konflik berkepanjangan tersebut seringkali berujung pada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Kekerasan, intimidasi, hingga kriminalisasi menjadi hal yang normal dialami masyarakat Desa Pakel. Terbaru, salah seorang petani Pakel mengalami pemukulan yang membuatnya pingsan pada 10 Maret 2024. Selain itu, tahun lalu, terdapat tiga orang petani Pakel yang dikriminalisasi hingga divonis penjara selama 5 tahun 6 bulan atas tuduhan menyebarkan berita bohong.
Kesalahan paradigma pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah menjadi penyebab konflik agraria terus-menerus terjadi. Saat ini, pemerintah hanya memandang konflik agraria sebagai persoalan legalitas pemanfaatan lahan oleh masyarakat adat. Padahal, banyak di antara mereka yang sampai saat ini belum mendapatkan pengakuan negara sehingga terpaksa harus tergusur dari tanah nenek moyangnya. Hal ini diperparah dengan adanya Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 yang seolah meniadakan hak dasar rakyat atas tanah dengan pemberian santunan demi kepentingan pembangunan. Praktik ini lebih mirip dengan domein verklaring yang dianut pemerintah kolonial belanda kala itu.
Tak hanya kesalahan paradigma, seringkali pendekatan pemerintah kepada masyarakat juga menjadi penyebab konflik. Pemerintah seolah meniadakan transparansi dengan tidak melibatkan masyarakat dalam pengambilan kebijakan pembangunan. Hal tersebut akan berujung pada penolakan dari masyarakat yang membuat mereka dianggap menentang pembangunan nasional. Banyaknya keterlibatan korporasi dalam setiap proyek pembangunan pun semakin mengubah orientasi dan transparansi kebijakan pemerintah.
Pemerintah harus segera kembali pada amanat UUD yang menempatkan kemakmuran rakyat sebagai prioritas pengelolaan sumber daya alam. Begitupun dengan kebijakan pembangunan yang selalu mengorbankan hak masyarakat adat. Dominasi penguasaan lahan yang diberikan pemerintah kepada korporasi harus segera kembali dikaji. Pendekatan kepada masyarakat juga harus menjunjung tinggi HAM serta transparansi sebagaimana yang direkomendasikan oleh berbagai elemen dan organisasi masyarakat.
Oleh: Syafiq Muhammad M.
Editor: Syifa Sukmadania Nur Dirgantari
Ilustrasi: Laila Rahma D.