Kriminalisasi Aktivis Langgar Hak Asasi
Kamis, 4 Maret 2023, Pengadilan Negeri Jepara menjatuhkan vonis tujuh bulan penjara kepada Daniel Frits Maurits. Ia adalah aktivis lingkungan yang mengkritik keberadaan tambak udang karena dianggap mencemari salah satu pantai di Karimunjawa. Daniel dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hakim menyatakan Daniel terbukti menimbulkan kebencian kepada masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan.
Kriminalisasi aktivis lingkungan sebagaimana yang dialami oleh Daniel seringkali terjadi belakangan ini. Sebelumnya, sembilan orang diamankan kepolisian karena menentang pembangunan bandara Ibu Kota Nusantara, kemudian penahanan yang dialami tiga petani Pakel, hingga divonisnya puluhan demonstran di Rempang. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mencatat ada 827 aktivis lingkungan dikriminalisasi selama 2014-2023. Selain itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga mengungkapkan bahwa pelanggaran hak asasi paling banyak dialami oleh para aktivis lingkungan. Padahal, UU Nomor 32 Tahun 2009 telah menjamin para aktivis lingkungan untuk terbebas dari tuntutan pidana maupun perdata.
Fenomena ini tidak bisa terus menerus dibiarkan terjadi. Selain bertentangan dengan Pasal 66 UU Nomor 32 Tahun 2009, kriminalisasi para aktivis juga melanggar hak asasi. Hal ini merupakan salah satu upaya untuk membungkam masyarakat yang menuntut kehidupan atas lingkungan hidup yang layak. Praktik tersebut semakin menggerus hak masyarakat atas kebebasan berpendapat dan memperoleh rasa aman sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999.
Kriminalisasi terjadi karena aparat penegak hukum seringkali digunakan sebagai alat memperlancar investasi dan pembangunan. Pemerintah maupun perusahaan bekerja sama dengan mereka untuk membungkam masyarakat yang dianggap menentang dan mengganggu suatu proyek. Hal ini terlihat jelas dari berbagai kasus aparat penegak hukum yang represif kepada masyarakat, mulai dari tindak kekerasan, penggunaan pasal karet, hingga penangkapan tanpa surat.
Selain itu, kebijakan Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP) belum diterapkan secara menyeluruh. Anti-SLAPP sendiri merupakan konsep yang melindungi para aktivis dan masyarakat dari gugatan pidana maupun perdata yang timbul karena memperjuangkan lingkungan hidup. Konsep ini sebenarnya sudah memiliki landasan hukum yang tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 dan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36 Tahun 2013. Pemahaman aparat penegak hukum terhadap konsep ini belum maksimal dikarenakan sampai sekarang tidak ada regulasi yang mengatur secara detail mengenai kebijakan Anti-SLAAP tersebut.
Dalam upaya menyudahi kriminalisasi yang terjadi terus-menerus, diperlukan komitmen dari presiden sebagai otoritas tertinggi untuk melindungi para aktivis lingkungan. Presiden memiliki kewenangan dalam memberikan instruksi kepada aparat penegak hukum khususnya kepolisian untuk berpihak kepada masyarakat dan mengedepankan langkah-langkah yang lebih humanis. Selain itu, pemerintah juga perlu melibatkan masyarakat dalam kebijakan pembangunan dan investasi untuk menghindari timbulnya konflik. Terakhir, pemerintah harus mendorong hadirnya regulasi yang mengatur detail mengenai Anti-SLAPP untuk menjamin keselamatan aktivis dan masyarakat yang membela lingkungannya dari jeratan hukum ataupun kriminalisasi.
Oleh: Syafiq Muhammad M.
Editor: Habib Abdul A.
Ilustrasi: Laila Rahma D.